Bolehkah
menggunakan barang yang dibeli dengan kredit sebagai jaminan, sebagaimana yang
dilakukan oleh bank syariah? Lalu jika status jaminan sebagai istitsaq (bukti
kepercayaan), bagaimana hukum menjual barang agunan tersebut untuk melunasi
hutang?
Jawab:
Pertama:
status barang yang dibeli dijadikan jaminan memang ada ikhtilaf di kalangan ulama. Ada yang
membolehkan dan tidak. Yang menyatakan barang yang dibeli tidak boleh dijadikan
jaminan (al-mabi’ rahna[an])
adalah Imam as-Syafii dan Ahmad, dalam satu riwayat.1
Dalam kitab Al-Hawi al-Kabir, sebagaimana dinukil
oleh al-Marudi, Imam as-Syafii menyatakan:
وَلَوِ
اشْتَرَطَا أَنْ يَكُونَ المَبِيعُ نَفْسَهُ رَهْناً، فَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ مِنْ
قَبْلِ أَنَّهُ لَمْ يَمْلِكْهُ المَبِيعُ إِلاَّ بِأَنْ يَكُونَ مَحْبُوساً عَلَى
الْمُشْتَرِي
Kalau penjual-pembeli mensyaratkan agar barang yang dibeli
tersebut sebagai agunan (jaminan), maka akad jual-beli tersebut batal, dari
aspek bahwa barang yang dibeli tersebut berstatus tersandera bagi pembelinya.
Alasan batalnya agunan seperti ini ada
dua:
1.
Ini merupakan akad gadai (rahn),
sebelum menjadi hak milik. Sebab, memiliki barang yang dibeli bisa dilakukan
dengan akad dan terjadinya perpisahan dari majelis akad, atau dengan akad saja.
Adapun akad rahn di
sini terjadi terhadap barang yang dibeli sebelum terjadinya dua hal ini, maka
status rahn
tersebut terjadi sebelum barangnya dimiliki. Padahal rahn terhadap sesuatu sebelum dimiliki
jelas batal.
2.
Akad rahn meniadakan
dijaminkannya harga yang dibayarkan, karena rahn
ini merupakan akad amanah. Jika harga dijadikan agunan, maka sebenarnya yang
diagunkan itu bukanlah harganya, melainkan nilainya. pasalnya, ketika akad rahn dilakukan, barang belum diserahkan,
sehingga harganya juga belum diterima. Sebab, ketika barang yang dijual
tersebut diagunkan sebelum diserahkan kepada pembeli, berarti penjualnya
mendapatkan agunan berupa harga (tsaman).
Padahal barang yang diagunkan dengan harga, tidak wajib dijamin dengan harga
pula. Konsekuensinya, di sini ada syarat agunan yang bertentangan, karena itu
syarat tersebut jelas batal.
Adapun jual-belinya dinyatakan batal, juga bisa dikembalikan pada dua alasan:
1.
Akad jual-beli mengharuskan diserahkannya barang yang dibeli, sedangkan akad rahn, mengharuskan barang harus ditahan.
Jika barang yang dijual disyaratkan sebagai agunan, maka syarat tersebut akan
menangguhkan penyerahan barang yang dijual. Padahal jual-beli yang mensyaratkan
penangguhan penyerahan barang yang dijual statusnya batil.
2.
Jual-beli juga meniscayakan terjadinya pemindahan manfaat barang yang dibeli
kepada pembelinya, sebagaimana pemindahan hak miliknya. Jika barang yang
dibeli/dijual tersebut dijadikan agunan, maka manfaatnya jelas tidak bisa
dipindahkan, sehingga jual-beli seperti ini jelas-jelas batil.
Adapun pendapat yang membolehkan, dinyatakan sebagai pendapat Imam Ahmad, menurut riwayat yang zahir, tetapi tidak dikemukakan alasannya. Hal yang sama juga dinyatakan dalam Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami no 6/2/53, yang membolehkan penjual menetapkan syarat kepada pembeli untuk mengagunkan barang yang dibeli agar bisa menjamin kewajibannya dalam membayar cicilan. Dalam Keputusan No. 6/1410 H tentang agunan properti juga menyatakan hal yang sama. Namun, semuanya tidak disertai alasan (reasoning) dan pijakan dalil yang jelas.
Al-‘Alim Syaikh ‘Atha’ Abu Rusythah,
dalam soal jawabnya men-tarjih
pendapat yang pertama. Demikian juga kami, memandang bahwa pendapat yang
pertama merupakan pendapat yang lebih kuat, baik dari aspek dalil maupun alasan
(reasoning).
Kedua:
tentang kebolehan pihak yang menghutangkan (da’in)
mengambil agunan (rahn)
dari pihak yang berhutang (madin)
untuk menutupi hutangnya, maka al-‘Alim Syaikh ‘Atha’ Abu Rasythah, menjelaskan
kebolehan tersebut didasarkan pada perbuatan Nabi saw. yang telah membeli
makanan dari seorang Yahudi dengan hutang, kemudian beliau memberikan baju
besinya sebagai jaminan.2
Hanya saja, pihak dai’n tidak berhak memiliki agunan tersebut,
ketika madin tidak
bisa membayar hutangnya. Sebab, status agunan tersebut tetap menjadi milik
pemiliknya, sebagaimana ketentuan yang dinyatakan dalam hadis:
لا يُغلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهِنَه
Agunan (gadai) tidak menghalangi pemilik yang
mengagunkannya.3
Frasa “Tidak menghalangi pemilik yang mengagunkannya” bermakna bahwa barang yang digadaikan tidak serta-merta menjadi milik da’in, jika madin gagal menyelesaikan hutangnya. Namun, barang tersebut boleh dijual dan digunakan untuk menutupi hutangnya, lalu sisanya dikembalikan kepada pemiliknya.
Uraiannya sebagai berikut:
1-
Jika hutang tersebut sudah jatuh tempo, kemudian da’in menuntut kepada madin agar menyelesaikan hutangnya, maka madin berhak mendapatkan harta lain selain
yang diagunkan, dan harta tersebut digunakan untuk menyelesaikan hutang madin. Setelah itu, agunannya dilepaskan,
dan diserahkan kembali kepada pemiliknya. Namun, jika hartanya yang lain tidak
cukup, baik semuanya atau sebagiannya, maka pihak yang menggadaikan (madin) wajib menjual barang yang diagunkan (marhun) dengan izin orang yang mendapatkan
agunan (murtahin/da’in).
Lalu hutang kepada pihak yang mendapatkan agunan (murtahin/da’in) dibayar terlebih
dulu, sebelum yang lain, dengan uang yang yang didapatkan dari hasil penjualan.
Setelah itu, sisanya dikembalikan kepada pemiliknya.
2-
Berdasarkan penjelasan di atas jelas sekali, bahwa murtahin/da’in tidak boleh menguasai
barang agunan jika madin
tidak bisa menyelesaikan hutangnya. Demikian juga dia tidak boleh langsung
menjual agunan tersebut, tetapi harus melalui pengadilan. Pengadilanlah yang
bisa memaksa pihak yang menggadaikan (rahin/madin)
untuk menjual barang agunannya. Sebabnya, agunan tersebut tetap menjadi milik
pemiliknya, sebagaimana hadis di atas. Karena itu, dialah yang harus menjualnya
dan melunasi hutangnya dengan hasil jual tersebut. Jika tidak mau, maka
penguasa/hakim harus memaksa dia untuk menjual dan melunasi hutangnya.
Selebihnya, tetap harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar