Koperasi merupakan organisasi bisnis
dalam bentuk syirkah (persekutuan). Untuk
mengetahui status hukum syariah koperasi, pertama-tama harus dilihat dari aspek
hukum syariah tentang akad dan syirkah.
Secara syar’i, koperasi bukanlah syirkah al-amwâl. Koperasi bukan
persekutuan atas pemilikan satu harta/properti tertentu, melainkan tiap anggota
menyetor modal yang kemudian digabungkan dan diputar dalam suatu bisnis. Karena
itu pendapat yang menganggap koperasi adalah boleh karena merupakan syirkah al-amwâl adalah tidak
tepat.
Jika ditelaah menggunakan hukum
syariah, tampak bahwa akad koperasi itu adalah batil sekaligus mengandung
syarat yang fasid (Lihat: An-Nabhani, An-Nizhâm
al-Iqtishâdî fî al-Islâm, hlm. 178-181, edisi muktamadah, 2004).
Alasannya: Pertama, dari aspek akad syirkah. Syirkah dalam Islam adalah akad
antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan aktivitas yang
bersifat finansial (aktivitas bisnis) dengan maksud mendapat laba. Aktivitas syirkah itu harus
berlangsung/berasal dari syarik
(mitra). Karena itu, di dalam akad syirkah
itu harus ada unsur badan, yaitu ada yang berposisi sebagai pengelola. Adanya
unsur badan ini menentukan ada tidaknya syirkah.
Hal ini tidak terpenuhi di dalam akad koperasi. Sebab, yang ada adalah
kesepakatan untuk menyetor modal tertentu dengan tujuan untuk mengadakan
pengurus yang menjalankan aktivitas koperasi. Kesepakatan syirkah itu hanya terjadi pada
harta mereka, sama sekali tidak terjadi pada badan mereka. Jadi, koperasi itu
kosong dari unsur badan sehingga secara syar’i, syirkah-nya tidak terbentuk atau
tidak ada.
Kedua, Secara syar’i,
aktivitas bisnis itu merupakan obyek akad syirkah dan itu merupakan rukun akad.
Di dalam akad Koperasi yang terjadi hanya kesepakatan untuk menyetor modal,
tidak terjadi kesepakatan untuk melakukan aktivitas bisnis. Secara syar’i akad
Koperasi itu kosong dari obyek akad, artinya tidak memenuhi rukun akad syirkah
yang syar’i. Karena itu akad Koperasi adalah batil.
Ketiga, dalam pembentukan
koperasi yang ada adalah negosiasi atas syarat-syarat (AD). Lalu siapa yang
setuju secara sukarela boleh membubuhkan persetujuannya dan dengan itu ia
menjadi anggota dan pendiri. Saat semua pendiri sudah membubuhkan
persetujuannya, berdirilah koperasi itu. Jadi, semuanya hanya menyatakan
persetujuan atau qabul,
tidak ada yang menyatakan ijab.
Keikutsertaan tiap orang itu semata didasarkan pada kehendak sepihak dari
masing-masing. Anggota lainnya tidak ditanya apakah menyetujuinya atau tidak.
Kalaupun sebagian tidak setuju seseorang menjadi anggota, maka hal itu tidak
berpengaruh dan orang itu tetap menjadi anggota selama ia secara sukarela
membubuhkan persetujuannya atas AD itu. Jadi, di situ tidak ada ijab-qabul, sebab yang ada hanya qabul saja. Padahal salah satu
rukun akad yang syar’i itu harus ada ijab-qabul. Itu artinya harus ada
kehendak bersama (irâdah musytarakah),
bukan kehendak sepihak (irâdah munfaridah).
Dengan begitu maka akad koperasi itu dalam pandangan Islam adalah batil.
Keempat, secara syar’i, andil seorang syarîk (mitra) itu berupa harta
dan/atau tenaga. Karena itu, pembagian laba harus berdasarkan modal atau tenaga
itu. Dalam pandangan Islam, setiap syarat yang menyalahi ketentuan syariah,
termasuk menyalahi konsekuensi akad, adalah syarat yang fasid. Dalam koperasi, syarat
pembagian laba adalah menurut jasa anggota baik dalam bentuk produksi,
penjualan, pembelian, dsb; bukan berdasarkan modal atau kerja. Jelas ini
menyalahi konsekuensi syar’i
akad syirkah itu. Hal itu
merupakan syarat yang fasid
sehingga tidak boleh.
Dengan demikian koperasi dalam
pandangan Islam adalah batil dan syirkah-nya
dianggap tidak pernah terbentuk atau tidak pernah ada. Semua tasharruf koperasi itu adalah
batil. Semua harta yang diperoleh melalui koperasi itu juga harta batil yang
diperoleh dengan tasharruf
yang batil sehingga tidak halal untuk dimiliki.
Semua itu jika: Pertama, koperasi itu adalah
koperasi yang hakiki seperti yang dideskripsikan di atas. Jika merupakan syirkah yang dibentuk sesuai dengan
hukum syirkah dalam Islam—baik Inan, Abdan,
Mudharabah, Wujuh atau Mufawadhah—lalu dinamai koperasi
atau didaftarkan sebagai badan hukum koperasi, maka tasharruf-nya
adalah sah dan bertransaksi dengannya adalah boleh.
Kedua, jika koperasi
yang hakiki itu para pendirinya adalah Muslim atau mayoritasnya Muslim. Sebab,
status batil dan haram itu mengikat bagi Muslim dan tidak mengikat bagi
non-Muslim. Artinya, jika koperasi itu para pendirinya non-Muslim atau
mayoritasnya non-Muslim, maka bertransaksi dengan koperasi itu adalah boleh.
Karena batil maka syirkah seperti ini
tidak bisa diperbaiki, tidak boleh dilanjutkan, dan harus dihentikan. Untuk
melanjutkan bisnis, maka harus dibentuk syirkah
yang sama sekali baru, yaitu dengan melakukan akad pembentukan syirkah baru yang memenuhi hukum
tentang syirkah dalam Islam.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar