Aulia Advertising Biro Iklan Telp 021 93476893, 0813 8468 1151

Minggu, 03 Maret 2013

Hukum Koperasi


Koperasi merupakan organisasi bisnis dalam bentuk syirkah (persekutuan). Untuk mengetahui status hukum syariah koperasi, pertama-tama harus dilihat dari aspek hukum syariah tentang akad dan syirkah. Secara syar’i, koperasi bukanlah syirkah al-amwâl. Koperasi bukan persekutuan atas pemilikan satu harta/properti tertentu, melainkan tiap anggota menyetor modal yang kemudian digabungkan dan diputar dalam suatu bisnis. Karena itu pendapat yang menganggap koperasi adalah boleh karena merupakan syirkah al-amwâl adalah tidak tepat.
Jika ditelaah menggunakan hukum syariah, tampak bahwa akad koperasi itu adalah batil sekaligus mengandung syarat yang fasid (Lihat: An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, hlm. 178-181, edisi muktamadah, 2004). Alasannya: Pertama, dari aspek akad syirkah. Syirkah dalam Islam adalah akad antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan aktivitas yang bersifat finansial (aktivitas bisnis) dengan maksud mendapat laba. Aktivitas syirkah itu harus berlangsung/berasal dari syarik (mitra). Karena itu, di dalam akad syirkah itu harus ada unsur badan, yaitu ada yang berposisi sebagai pengelola. Adanya unsur badan ini menentukan ada tidaknya syirkah. Hal ini tidak terpenuhi di dalam akad koperasi. Sebab, yang ada adalah kesepakatan untuk menyetor modal tertentu dengan tujuan untuk mengadakan pengurus yang menjalankan aktivitas koperasi. Kesepakatan syirkah itu hanya terjadi pada harta mereka, sama sekali tidak terjadi pada badan mereka. Jadi, koperasi itu kosong dari unsur badan sehingga secara syar’i, syirkah-nya tidak terbentuk atau tidak ada.
Kedua, Secara syar’i, aktivitas bisnis itu merupakan obyek akad syirkah dan itu merupakan rukun akad. Di dalam akad Koperasi yang terjadi hanya kesepakatan untuk menyetor modal, tidak terjadi kesepakatan untuk melakukan aktivitas bisnis. Secara syar’i akad Koperasi itu kosong dari obyek akad, artinya tidak memenuhi rukun akad syirkah yang syar’i. Karena itu akad Koperasi adalah batil.
Ketiga, dalam pembentukan koperasi yang ada adalah negosiasi atas syarat-syarat (AD). Lalu siapa yang setuju secara sukarela boleh membubuhkan persetujuannya dan dengan itu ia menjadi anggota dan pendiri. Saat semua pendiri sudah membubuhkan persetujuannya, berdirilah koperasi itu. Jadi, semuanya hanya menyatakan persetujuan atau qabul, tidak ada yang menyatakan ijab. Keikutsertaan tiap orang itu semata didasarkan pada kehendak sepihak dari masing-masing. Anggota lainnya tidak ditanya apakah menyetujuinya atau tidak. Kalaupun sebagian tidak setuju seseorang menjadi anggota, maka hal itu tidak berpengaruh dan orang itu tetap menjadi anggota selama ia secara sukarela membubuhkan persetujuannya atas AD itu. Jadi, di situ tidak ada ijab-qabul, sebab yang ada hanya qabul saja. Padahal salah satu rukun akad yang syar’i itu harus ada ijab-qabul. Itu artinya harus ada kehendak bersama (irâdah musytarakah), bukan kehendak sepihak (irâdah munfaridah). Dengan begitu maka akad koperasi itu dalam pandangan Islam adalah batil.
Keempat, secara syar’i, andil seorang syarîk (mitra) itu berupa harta dan/atau tenaga. Karena itu, pembagian laba harus berdasarkan modal atau tenaga itu. Dalam pandangan Islam, setiap syarat yang menyalahi ketentuan syariah, termasuk menyalahi konsekuensi akad, adalah syarat yang fasid. Dalam koperasi, syarat pembagian laba adalah menurut jasa anggota baik dalam bentuk produksi, penjualan, pembelian, dsb; bukan berdasarkan modal atau kerja. Jelas ini menyalahi konsekuensi syar’i akad syirkah itu. Hal itu merupakan syarat yang fasid sehingga tidak boleh.
Dengan demikian koperasi dalam pandangan Islam adalah batil dan syirkah-nya dianggap tidak pernah terbentuk atau tidak pernah ada. Semua tasharruf koperasi itu adalah batil. Semua harta yang diperoleh melalui koperasi itu juga harta batil yang diperoleh dengan tasharruf yang batil sehingga tidak halal untuk dimiliki.
Semua itu jika: Pertama, koperasi itu adalah koperasi yang hakiki seperti yang dideskripsikan di atas. Jika merupakan syirkah yang dibentuk sesuai dengan hukum syirkah dalam Islam—baik Inan, Abdan, Mudharabah, Wujuh atau Mufawadhah—lalu dinamai koperasi atau didaftarkan sebagai badan hukum koperasi, maka tasharruf-nya adalah sah dan bertransaksi dengannya adalah boleh.
Kedua, jika koperasi yang hakiki itu para pendirinya adalah Muslim atau mayoritasnya Muslim. Sebab, status batil dan haram itu mengikat bagi Muslim dan tidak mengikat bagi non-Muslim. Artinya, jika koperasi itu para pendirinya non-Muslim atau mayoritasnya non-Muslim, maka bertransaksi dengan koperasi itu adalah boleh.
Karena batil maka syirkah seperti ini tidak bisa diperbaiki, tidak boleh dilanjutkan, dan harus dihentikan. Untuk melanjutkan bisnis, maka harus dibentuk syirkah yang sama sekali baru, yaitu dengan melakukan akad pembentukan syirkah baru yang memenuhi hukum tentang syirkah dalam Islam.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar