Aulia Advertising Biro Iklan Telp 021 93476893, 0813 8468 1151

Jumat, 29 November 2013

AULIA PROPERTY IKLAN: Miliki Segera Apartemen Apartemen 1 Rupiah – Para...

AULIA PROPERTY IKLAN: Miliki Segera Apartemen Apartemen 1 Rupiah :

BroadBiz Asia, pengembang properti asal Tangerang, melalui proyek Apartemen Paragon Square, meluncurkan program “Apartemen 1 Rupiah
Program “Apartemen 1 Rupiah” merupakan program unggulan dan Apartemen Paragon Square dimana konsumen dapat membeli Apartemen hanya dengan 1 rupiah saja.
Program “Apartemen 1 Rupiah” dijalankan melalui sistem asuransi dan KPA Refund, sehingga KPA yang dibayarkan konsumen setiap bulannya akan menjadi sama seperti menabung saja.
Selain itu, konsumen akan mendapatkan proteksi ganda dalam bentuk pertanggungan asuransi selama masa 10 – 15 tahun.
Segera miliki Apartemen Paragon Square dengan hanya 1 Rupiah saja di lokasi yang sangat strategis di tengah Kota Tangerang.
Informasi lebih lanjut mengenai program “Apartemen 1 Rupiah”, silahkan hubungi:
SALAMAH
Marketing Executive
081-811-6097
0821-1208-1652

AULIA PROPERTY IKLAN: Menjual Ikan Laut

AULIA PROPERTY IKLAN: Menjual Ikan Laut: Menjual Ikan Laut Stock Ikan Bisa Berubah Ubah sewaktu waktu dan Terima pesanan serta diantar sampai tujuan.

Untuk informasi pemasangan iklan dan kerjasama media partner silahkan menghubungi:
Aulia Advertising, Jl H. Rean Komplek Pamulang Regency Blok B 1 N0 15 Benda Baru Pamulang, Tangsel telp 021 93476893, 0213354997,081384681151, email:
nurcahyono208@gmail.com/nurcahyono52@yahoo.com

 

Jual-Beli Pesanan (Bay’ as-Salaf/Bay’ as-Salam)

As-Salaf berasal dari kata salafa–yaslufu–salfan; secara bahasa artinya berlalu, dulu atau taqaddama wa sabaqa (mendahului); juga bermakna al-qardh (utang).1 As-Salam secara bahasa memiliki banyak arti, di antaranya adalah at-taqdîm wa at-taslîm (mendahulukan dan menyerahkan).2
Menurut al-Azhari, dalam konteks muamalah, as-salaf mempunyai dua arti: al-qardhu3 dan as-salam. 4 Arti yang kedua ini lebih dominan sehingga as-salaf adalah as-salam atau sebaliknya; bahkan dikatakan ini arti menurut seluruh ahli bahasa.5Hanya saja as-salaf lebih digunakan oleh orang Irak dan as-salam digunakan oleh orang Hijaz. Disebut as-salam karena penyerahan harga dilakukan di majelis akad. Para fukaha mengartikan as-salaf atau as-salam sebagai akad atas sesuatu dengan karakter (spesifikiasi) yang dijelaskan dan dijamin diserahkan belakangan dengan harga yang diserahkan di majelis akad.6 Dalam Mu‘jam al-Lughah al-Fuqahâ’ dinyatakan bay’ as-salam (forward buying) adalah jual-beli barang yang diserahkan belakangan yang spesifikasinya dijamin dengan harga yang diserahkan di majelis akad.7
Dengan demikian, bay’ as-salam/bay’ as-salaf adalah jual-beli sesuatu yang dijelaskan karakter (spesifikasi)-nya yang dijamin diserahkan belakangan dengan sesuatu yang diserahkan seketika.8 Intinya, seseorang menyerahkan kompensasi seketika untuk suatu kompensasi yang dijelaskan spesifikasinya dan dijamin diserahkan belakangan, atau ia mendahulukan pembayaran harga suatu barang yang akan ia terima setelah tempo tertentu.9
As-salaf atau as-salam adalah jual beli yang disyariatkan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 281).
Ibn Abbas menceritakan, bahwa Nabi saw. tiba di Madinah dan masyarakat melakukan as-salaf pada buah-buahan satu atau dua tahun. Lalu Nabi saw bersabda:
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
Siapa saja yang melakukan as-salaf pada sesuatu maka hendaknya dalam takaran dan timbangan yang jelas sampai tempo yang jelas. (HR Bukhari).

Beberapa Ketentuan as-Salam
As-Salam mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok): (1) shighat (ijab dan qabul); (2) al-‘âqidân (dua orang yang melakukan akad as-salam), yaitu orang yang memesan/pembeli (rabb as-salam) dan yang menerima pesanan/penjual (al-muslam ilayh); keduanya haruslah orang yang secara syar‘i layak melakukan tasharruf; (3) al-ma‘qûd ‘alayh (obyek akad), yaitu barang yang dipesan (al-muslam fîh) dan harga (ra’s mâl as-salam). Selain itu, ada syarat-syarat tertentu agar as-salam itu sah, yaitu syarat-syarat yang berkaitan dengan al-muslam fîh dan ra’s mâl as-salam.
Syarat-syarat berkaitan dengan al-muslam fîh adalah: Pertama, Harus sesuatu yang bisa ditimbang (al-makîl), ditakar (al-mawzûn) atau dihitung (al-ma’dûd). Karena, Allah melarang kita menjual sesuatu yang bukan milik kita atau belum sempurna kita miliki.10 As-Salam adalah jual-beli yang demikian, namun oleh nash dikecualikan dari larangan itu, sehingga larangan itu khusus berlaku pada yang lain. Karenanya, sesuatu yang boleh dilakukan as-salam haruslah yang dinyatakan oleh nash, yaitu harus sesuatu yang bisa ditakar, ditimbang atau dihitung. Syarat harus bisa ditakar dan ditimbang sesuai dengan teks hadis di atas. Adapun yang bisa dihitung karena hadis riwayat Bukhari –diantaranya dari Muhammad ibn Abi al-Mujalid, seperti hadis di bawah– membolehkan as-salam pada makanan. Ibn al-Mundzir juga telah menukilkan adanya Ijmak Sahabat akan kebolehan as-salam pada makanan. Makanan itu bisa ditetapkan dengan ditakar, ditimbang atau dihitung. Hukum as-salam terkait dengan karakter ini. Dengan demikian, as-salam boleh dilakukan untuk sesuatu yang penetapannya dengan dihitung.
Kedua, selain harus bisa ditakar, ditimbang atau dihitung, al-muslam fîh itu harus jelas dan ditentukan jenisnya, misalnya kacang bogor, tahu sumedang, telur ayam ras, kain songket Lombok, dsb; juga harus ditentukan kadar takaran, timbangan atau hitungannya, misal sekian ton, liter, meter, buah, dsb. Semua itu harus berada dalam jaminan, artinya dijamin akan diserahkan dengan sifat-sifat (spesifikasi) seperti itu.
Ketiga, harus ada tempo yang jelas (diketahui) untuk penyerahan al-muslam fîh itu; misalnya sebulan, seminggu, tanggal sekian, dsb. Hal itu sesuai teks hadis di atas, dan karena adanya tempo itulah yang menjadikannya as-salam. Sebab, jika kontan maka bukan as-salam melainkan jual-beli cash.
Penjual tidak disyaratkan harus memiliki kebun, pohon, asal atau sumber al-muslam fîh. Muhammad ibn Abi al-Mujalid pernah bertanya kepada Abdullah ibn Abiy Awfa ra., dan Abdurrahman ibn Abza ra., apakah para sahabat melakukan as-salaf pada masa Nabi saw, Abdullah menjawab :
كُنَّا نُسْلِفُ نَبِيْطَ أَهْلِ الشَّأْمِ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيْرِ وَالزَّيْتِ فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْم،ٍ قُلْتُ: إِلَى مَنْ كَانَ أَصْلُهُ عِنْدَهُ؟ قَالَ: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ، و قال عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى: كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صلى الله عله وسلم يُسْلِفُوْنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عله وسلم وَلَمْ نَسْأَلْهُمْ أَلَهُمْ حَرْثٌ أَمْ لاَ
Kami men-salaf hasil tetumbuhan penduduk Syam pada Gandum, Barley dan minyak dalam takaran yang jelas sampai tempo yang jelas. Aku (Muhammad) bertanya : “kepada orang yang memiliki pohonnya?” Abdullah menjawab : “kami tidak menanyakan hal itu”. Sedangkan Abdurrahman ibn Abza berkata : “para sahabat Nabi saw melakukan as-salaf pada masa Nabi saw dan kami tidak menanyakan apakah mereka memiliki kebun atau tidak” (HR. Bukhari)
Adapun syarat ra’s mâl as-salam (harga): Pertama, harus jelas jenis dan kadar/jumlahnya; atau jelas nominalnya jika uang. Kedua, pembayaran harganya harus diserahkan penuh atau semuanya pada saat akad di majelis akad, karena as-salaf dalam bahasa Arab adalah memberikan sesuatu pada sesuatu, yaitu membayarkan uang sebagai utang atas barang yang diambil (diterima) belakangan. Karenanya, seperti yang dikatakan Imam asy-Syafii, tidak akan terpenuhi makna taslîf kecuali pembayarannya diberikan penuh (semuanya) pada saat akad di majelis akad sebelum keduanya berpisah.11 Siapa yang tidak memberikan pembayaran sesuatu yang ia pesan, maka itu bukan as-salam, melainkan janji akan memesan (wa’d bi an yuslifa). Jika hanya sebagian yang diserahkan, maka as-salam yang sah hanya pada kadar yang diserahkan itu, sementara yang belum diserahkan hanya berupa janji dan tidak mengikat. Jadi, yang harus dibayarkan bukan hanya DP (uang muka)-nya saja, tetapi pembayaran harganya secara penuh. Ketiga, tidak boleh terjadi ghabn fâkhisy (kecurangan harga; ada selisih yang tidak wajar/zalim). Harga itu ditentukan menurut harga pasar saat dilakukan akad. Terjadinya ghabn fâkhisy harus memenuhi dua syarat: (1) adanya ketidaktahuan pihak yang dicurangi; dan (2) selisih yang tidak wajar/zalim sesuai penilaian para pedagang. Jika terjadi hal itu maka yang dicurangi boleh memilih antara menerimanya dan tetap melanjutkan akad atau membatalkan akad dan meminta kembali harganya seperti yang diserahkan saat akad. Ia tidak boleh hanya mengambil selisihnya saja.
Jika saat jatuh tempo jenis barang yang dipesan tidak ada atau kadarnya kurang, maka pembeli (pemesan/rabb as-salam) hanya boleh mengambil kembali harga yang ia bayarkan saat akad. Ia tidak boleh mengambil lebih dari itu dengan alasan kompensasi, denda atau lainnya. Jika ia mengambil uang lebih dari itu, artinya ia mengambil uang yang diutangkan dengan tambahan dan itu adalah riba. Ia pun tidak boleh mengambil pengganti barang yang lain. Itu artinya ia telah mengakadkan akad baru, yaitu ia menjual barang yang belum ia terima dengan barang lain.12 Dengan kata lain, ia telah melakukan bay’atayn fî bay’ah (dua jual beli dalam satu transaksi) dan itu adalah haram. Di samping itu, Nabi saw. juga telah bersabda:
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَلاَ يَصْرِفْهُ إِلَى غَيْرِهِ
Siapa saja yang melakukan as-salaf pada sesuatu, janganlah mengalihkannya ke yang lain (HR Abu Dawud)
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan Kaki:
1 Lihat: Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, 9/158, Dar Shadir, Beirut, cet. i. tt
2 Lihat: al-Jurjani, at-Ta’rifât, 1/160, Dar al-Kitab al-’Arabi, Beirut, cet. i. 1405
3 Yaitu utang dimana tidak ada manfaat tambahan bagi pemberi utang dan orang yang berutang wajib mengembalikannya sama seperti yang dia utang. Lihat: Al-Fayrus al-Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, 2/391; Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, 4/287
4 Lihat: al-Jauhari, ash-Shihâh fî al-Lughah, 1/327; Ash-Shahib ibn ‘Ibad, al-Muhîth fî al-Lughah, 2/265; ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, 1/131, Maktabah Lubnan Nashirun, Beirut, cet. baru. 1995-1415
5 Al-Qâmûs al-Fiqh, 1/180, CD al-Maktabah asy-Syamilah, al-ishdar ats-tsani
6 Lihat: Khalid ibn Rasyid as-Sa’idan, Qawâ’id al-Buyû’ wa Farâ’id al-Furû’, hlm. 91
7 Lihat: Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, 1/249, CD al-Maktabah asy-Syamilah al-ishdar ats-tsani
8 Lihat: Yusuf as-Sabatin, al-Buyû’ al-Qadîmah wa al-Mu’ashirah wa al-Bûrushât al-Mahaliyah wa ad-Dualiyah, hal. 67-dst., Dar al-Bayariq, cet. i. 2002
9 Lihat: an-Nabhani, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, 2/292-296, min mansyurat Hizb at-Tahrir, Beirut, cet. v (mu’tamadah). 2003
10 Sabda Nabi saw.: “Lâ tabi’ mâ laysa ‘indaka (Janganlah engkau menjual apa yang bukan milikmu)” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ibn Hibban)
11 Lihat: Al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsâr, 9/457, Dar al-Wafa’, Mesir. 1412
12 Ini jelas dilarang sesuai hadis footnote no. 10, dan sabda Rasul, “Siapa yang membeli makanan maka jangan ia jual hingga ia menerimanya.” (HR. Bukhari) dan hadis-hadis senada lainnya.

Tanya Jawab Soal: Seputar Jual Beli Dengan Angsuran Dengan Adanya Klausul Penalti


Pertanyaan:
Apakah akad jual beli dalam kondisi harga barang ditetapkan dengan tempo dengan angsuran bulanan disertai klausul syarat penalti di mana nilai angsuran dinaikkan pada kondisi pembeli tidak mampu atau terlambat membayar angsuran pada waktunya, apakah jual beli tersebut syar’i?

Jawab:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Jual beli dengan harga segera (kontan) terakadkan. Demikian juga jual beli dengan harga tempo yaitu dengan angsuran juga terakadkan. Akan tetapi, tidak boleh harga dinaikkan disebabkan ketidakmampuan pembeli membayar angsuran tepat waktu. Akan tetapi jika tidak bayar itu terjadi dari orang kaya yang mengulur-ulur pembayaran maka terhadapnya dijatuhkan sanksi dari negara, yakni terhadapnya diajukan dakwaan mengulur-ngulur pembayaran. Hal itu berdasarkan sabda Rasul saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Amru bin asy-Syarid dari bapaknya dari Rasulullah saw beliau bersabda:
«لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ، وَعُقُوبَتَهُ»
Mengulur-ulur waktu pembayaran oleh orang kaya yang mampu membayar menghalalkan kehormatannya dan sanksinya.

Layyu yakni mengulur-ulur, dan al-wâjidu yakni orang kaya yang mampu membayar, dan yuhillu ‘irdhahu yakni halal dikatakan ia mengulur-ulur dan itu dikatakan dengan keras, sementara ‘uqûbatahu maknanya jelas (yakni halal dijatuhkan sanksi terhadapnya – pent) …
Jika tidak bayar itu disebabkan kesulitan, maka dia diberi tangguh hingga mempunyai kelapangan. Allah SWT berfirman:
﴿ وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (TQS al-Baqarah [2]: 280)

Atas dasar itu maka jika terakadkan jual beli kontan atau dengan angsuran, maka harga telah jadi mengikat kedua pihak. Tidak boleh dinaikkan harganya dikarenakan ketidakmampuan membayar. Jika tidak maka itu adalah riba. Jenis riba tersebut dahulu tersebar luas pada masa jahiliyah. Diriwayatkan dari asy-Syafi’iy ia berkata:
وَكَانَ مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الدَّيْنُ فَيَحِلُّ الدَّيْنُ، فَيَقُولُ لَهُ صَاحِبُ الدَّيْنِ: تَقْضِي أَوْ تُرْبِي، فَإِنْ أَخَّرَهُ زَادَ عَلَيْهِ وَأَخَّرَهُ
Termasuk riba jahiliyah adalah seorang laki-laki memiliki utang kepada orang lain lalu utang itu jatuh tempo, lalu pemilik utang (kreditor) berkata: engkau bayar atau engkau tambah, maka jika ia menunda (mengakhirkan), utangnya dinaikkan dan diakhirkan (ditunda jatuh temponya)

Ringkasnya, bahwa harga yang disepakati di awal bersifat mengikat kedua pihak. Harga tidak boleh dinaikkan karena ketidakmampuan membayar pada waktunya dan ditangguhkan ke waktu lain dengan dinaikkan harganya. Jika tidak itu adalah riba.


Hukum Jual Beli Kredit (al-Bay’ bi ad Dayn wa bi at-Taqsîth)

Al-Bay’ (jual-beli) secara bahasa artinya pertukaran, sedangkan secara syar‘i bermakna: mubâdalah mâl[in] bi mâl[in], tamlîk[anl wa tamalluk[an] ‘alâ sabîl at-tarâdhî (pertukaran harta dengan harta lain dalam bentuk penyerahan dan penerimaan pemilikan [pertukaran dan pemindahan pemilikan] berdasarkan kerelaan kedua pihak.
Jual-beli ada tiga bentuk. Pertama: jual-beli tunai; barang dan harga diserahterimakan pada saat akad. Kedua: jual-beli salaf atau salam (pesanan); harga dibayar pada saat akad, sedangkan barang diserahkan setelah tempo tertentu. Ketiga: jual-beli kredit, barang diserahkan pada saat akad, sedangkan harganya dibayar setelah tempo tertentu, baik sekaligus atau dicicil. Bentuk ketiga inilah yang disebut jual-beli kredit (al-bay’ bi ad-dayn wa bi at-taqsîth).
Syariah memperbolehkan jual-beli secara kredit. Dasarnya adalah QS al-Baqarah ayat 282. Aisyah ra. Juga meriwayatkan: Nabi saw. pernah membeli makanan kepada seorang Yahudi sampai tempo tertentu dan Beliau menggadaikan baju besinya. (HR al-Bukhari). Aisyah ra. Juga menuturkan bahwa Barirah ra. pernah membeli (membebaskan) dirinya sendiri dari tuannya seharga sembilan awqiyah yang dibayar satu awqiyah setiap tahun (HR al-Bukhari dan Muslim). Kejadian tersebut diketahui oleh Rasul dan beliau mendiamkannya. Hal itu menunjukkan kebolehan jual-beli secara kredit dengan cara dicicil.

Beberapa Ketentuan
Jual-beli kredit memiliki tiga rukun: (1) Al-‘Aqidân, yaitu dua orang yang berakad. Dalam hal ini keduanya harus orang yang layak melakukan tasharruf, yakni berakal dan minimal mumayyiz. (2). Shighât (ijab-qabul). (3) Mahal al-’aqd (obyek akad), yaitu al-mabi’ (barang dagangan) dan ats-tsaman (harga).
Di samping ketiganya juga terdapat syarat-syarat terkait dengan al-mabî’ (barang dagangan) dan harga. Al-Mabî’ itu harus sesuatu yang suci, tidak najis; halal dimanfaatkan; adanya kemampuan penjual untuk menyerahkannya; harus ma‘lûm (jelas), tidak majhul. Jika barang dagangannya berupa tamar (kurma), sa’îr (barley), burr (gandum), dzahab (emas), fidhah (perak), atau uang, dan milh (garam) maka tidak boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) secara kredit. Rasul saw. bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَد
Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus) semisal, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka perjualbelikanlah sesuka kalian selama dilakukan secara tunai. (HR Muslim).
Artinya, tidak boleh menjual emas, perak, garam, kurma, gandum atau barley, secara kredit.
Di samping itu al-mabî’ (barang dagangan) tersebut haruslah milik penjual atau si penjual memang memiliki hak untuk menjualnya, misal sebagai wakil dari pemiliknya. Rasul saw. bersabda:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).
Jual-beli kredit ini tidak seperti as-salaf atau as-salam yang dikecualikan dari larangan tersebut. Jadi, barang yang dijual secara kredit itu haruslah sempurna milik si penjual. Jika barang itu sebelumnya dia beli dari pihak lain maka pembelian itu harus sudah sempurna, yaitu harus sudah terjadi perpindahan pemilikan atas barang itu secara sempurna dari pihak lain itu kepadanya. Artinya, barang itu telah sempurna dia miliki, baru ia sah untuk menjualnya secara kredit. Ketentuan ini menjadi salah satu titik kritis dalam muamalah al-murâbahah li al-âmir bi asy-syirâ’—sering disebut murabahah saja—dan al-bay’ bi ats-tsaman âjil, atau yang sejenis.1
Supaya akad jual-beli kredit itu sempurna, harus terjadi perpindahan pemilikan atas al-mabî’ itu dari penjual kepada pembeli. Jika al-mabî’ itu termasuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd, al-makîl wa al-mawzûn) maka harus terjadi serah terima (al-qabdh). Jika bukan yang demikian maka tidak harus terjadi al-qabdh, melainkan begitu selesai ijab dan qabul, terjadilah perpindahan pemilikan atas al-mabî’. Intinya, pemilikan pembeli atas barang yang dia beli akan sempurna jika tidak ada lagi penghalang baginya untuk men-tasharruf barang tersebut, baik dijual, disewakan, dikonsumsi, dihibahkan dan sebagainya.
Adapun harga dalam jual-beli secara kredit dibayar setelah tempo tertentu, artinya merupakan utang (dayn), baik dibayar sekaligus ataupun dicicil. Kebolehan itu sesuai dengan hadis Barirah dan hadis tentang jual-beli secara kredit yang dilakukan Nabi saw. dengan seorang Yahudi di atas.
Seseorang boleh menawarkan barangnya dengan dua harga, harga tunai dan harga kredit—biasanya lebih tinggi dari harga kontan. Hal itu karena Rasul saw. pernah bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Sesungguhnya jual-beli itu hanyalah dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli) (HR Ahmad dan Ibn Majah).
Jadi, seorang penjual berhak menjual barang dengan harga yang ia ridhai dan menolak jual-beli dengan harga yang tidak ia ridhai. Ia berhak menetapkan atas barangnya dua harga, harga tunai dan harga kredit yang lebih tinggi dari harga tunai. Begitu pula pembeli berhak melakukan tawar-menawar pada harga yang ia ridhai, baik tunai ataupun kredit. Namun, adanya dua harga itu hanya boleh terjadi dalam tawar-menawar. Sebaliknya, dalam akad/transaksi yang disepakati dalam jual-beli, harus satu harga. Misal, boleh saja si A mengatakan, “Barang ini harganya tunai Rp 100 ribu, kalau kredit sebulan 110 ribu.” Jika si B berkata, “Saya beli kredit satu bulan 110 ribu,” maka jual-beli itu sah. Sebab, meski penawarannya ada dua harga, tetapi akadnya hanya satu harga. Artinya, jual-beli itu terjadi dalam satu harga saja. Ini berbeda jika si B mengatakan, “Baik, saya setuju,” atau, “Baik, saya beli.” Dalam kasus ini, jual-belinya tidak sah, karena yang disepakati dalam akad berarti ada dua harga, dan Rasul melarangnya. Ibn Mas‘ud mengatakan:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
Rasulullah saw. telah melarang dua transaksi dalam satu akad (HR Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani).
Jika telah disepakati jual-beli secara kredit dengan harga tertentu, misal kredit sebulan harga Rp 110 ribu, lalu saat jatuh tempo pembeli belum bisa membayarnya, kemudian disepakati ditangguhkan dengan tambahan harga, misal sebulan lagi tetapi dengan harga Rp 120 ribu; atau misal sudah disepakati jual-beli tunai dengan harga Rp 100 ribu, lalu pembeli meminta ditangguhkan sebulan dan penjual setuju dengan harga menjadi Rp 110 ribu, maka kedua contoh ini dan semisalnya tidak boleh. Sebab, itu artinya telah terjadi dua jual-beli dalam satu barang atau satu jual-beli (bay’atayn fî al-bay’ah). Abu Hurairah berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
Rasulullah saw. telah melarang dua jual beli dalam satu jual-beli (HR Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ibn Hibban).
Jika terjadi kasus tersebut, lalu bagaimana? Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوْ الرِّبَا
Siapa saja yang menjual dengan dua jual-beli maka baginya harga yang lebih rendah atau riba (HR Abu Dawud).
Jadi, jika terjadi kasus tersebut, jual-beli itu tetap sah, namun dengan harga yang lebih rendah, yaitu harga awal. Jika dengan harga lebih tinggi maka selisihnya dengan harga awal adalah riba.
Ada jenis jual-beli kredit lain yang dilarang dan hukumnya haram. Misal: A menjual motor kepada B secara kredit satu tahun dengan harga Rp 11 juta, lalu B menjual lagi motor itu kepada A secara tunai seharga Rp 10 juta. Sehingga A menyerahkan Rp 10 juta kepada B dan setahun lagi akan mendapat Rp 11 juta dari B. Jual-beli seperti ini yang menurut para fukaha dinamakan al-bay’ al-‘înah. Dalam hal ini Rasul saw. bersabda:
إذَا ضَنَّ النَّاسُ بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ، وَتَبَايَعُوا بِالْعِينَةِ، وَاتَّبَعُوا أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَتَرَكُوا الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللهِ، أَنْزَلَ اللهُ بِهِمْ ذُلاًّ، فَلَمْ يَرْفَعْهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُرَاجِعُوْ دِينَهُمْ
Jika manusia bakhil dengan dinar dan dirham, berjual-beli secara al-‘înah, mengikuti ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah menurunkan atas mereka kehinaan, Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari mereka hingga mereka kembali pada agama mereka (HR Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).
Wallâh a‘lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

Catatan kaki:
1 Masalah murabahah li al-âmir bi asy-syirâ’ (murabahah) dan al-bay’ bi ats-tsaman âjil dan muamalah semisalnya, perlu pembahasan tersendiri secara lebih rinci.