Politik Ekonomi Negara Khilafah
Dalam sistem
ekonomi kapitalis liberal, untuk mewujudkan kemak-muran rakyat, negara
tidak perlu campur tangan terhadap perekonomian masyarakat. Hal tersebut
antara lain tampak dari pendefinisian Politik Ekonomi. Dalam Kamus
Ekonomi1 disebutkan: Political
Economy is the science of wealth and deals with effort made by man to
supply wants and satisfy desires (Politik Ekonomi adalah ilmu
pengetahuan tentang kekayaan dan berhubungan dengan usaha-usaha yang
dibuat manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memuaskan keinginan).
Definisi
tersebut tidak menyebutkan peran negara sama sekali dan bukan sebagai
sebuah kebijakan, namun sekadar ilmu. Dampak definisi
tersebut adalah negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis kurang
berperan (minim campur tangan) secara langsung untuk mensejahterakan
orang-perorang rakyatnya. Inilah yang membedakan-nya dengan politik
ekonomi Islam. Abdurrahman al-Maliki di dalam as-Siyâsah
al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ menjelas-kan bahwa Politik Ekonomi
Islam merupakan Kebijakan yang diterapkan oleh Negara Khilafah
untuk menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan dasar rakyat, orang-perorang,
secara menyeluruh, serta menjamin kesempatan untuk memenuhi kebutuhan
sekunder mereka sesuai dengan kadar yang mampu diraih sebagai manusia
yang hidup dalam suatu masyarakat yang khas, dengan corak dan gaya hidup
yang unik.
Berdasarkan
definisi tersebut, Politik Ekonomi Islam (PEI) merupakan kebijakan
negara yang fokus pada kesejahteraan orang-perorang, bukan sekadar
kesejahteraan negara secara agregat (makro) yang hanya tertulis dalam
angka, namun kenyataannya ada saja kasus rakyat yang mati kelaparan. Di
dalam PEI ada jaminan bagi setiap individu yang hidup di dalam Daulah
Islamiyah untuk memenuhi kebutuhan primernya. Negara mendorong dan
mengkondisikan agar setiap laki-laki yang mempunyai kemampuan untuk
berusaha dan bekerja meraih rezeki alias bisa memasuki mekanisme pasar.
Negara menerapkan syariah Islam untuk mengatur seluruh interaksi di
tengah-tengah masyarakat serta menjamin perwujudan nilai-nilai keutamaan
dan keluhuran dalam setiap interaksi, termasuk di dalamnya interaksi
ekonomi.
Kebijakan Negara dalam Pemenuhan Kebutuhan Pokok
Dalam PEI
negara menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok dan dasar rakyat,
serta kesempatan terpenuhinya kebutuhan sekunder seluruh rakyat, orang
per orang (tanpa memandang ras, suku dan agama) secara menyeluruh.
Kebutuhan dasar rakyat itu meliputi kebutuhan pokok berupa sandang,
papan dan pangan, serta kebutuhan dasar rakyat secara umum, yaitu
pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Jaminan
pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang2, pangan3 dan papan4, diberikan oleh negara
dengan mekanisme tidak langsung. Sesuai ketentuan syariah
Islam dalam hal ini, negara akan menempuh tiga strategi kebijakan: Pertama,
Islam menetapkan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok individu
berupa sandang, papan dan pangan kepada individu dengan cara mewajibkan
setiap pria yang baligh, berakal dan mampu, untuk bekerja. Tidak hanya
untuk dirinya sendiri, tetapi juga berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan
orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak, istri, ibu, bapak dan
saudaranya. Dalam hal ini negara wajib menyediakan lapangan kerja yang
halal seluas-luasnya dan menutup lapangan kerja dan transaksi bisnis
yang haram serta membangun iklim yang kondusif untuk berkembangnya usaha
dan investasi yang halal.
Kedua: Jika
individu tersebut tidak mampu dan tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka beban tersebut dibebankan
kepada ahli waris dan kerabat dekatnya.
Ketiga: Jika dengan strategi
kedua kebutuhan pokok itu belum juga terpenuhi, beban tersebut beralih
ke negara. Negara wajib menanggung pemenuhan kebutuhan pokok orang
tersebut menggunakan harta yang ada di kas Baitul Mal, termasuk harta
zakat.
Sedangkan
untuk jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat secara umum berupa
pendidikan, kesehatan dan keamanan, maka negara memenuhinya secara
langsung. Negara wajib menyediakan layanan pendidikan,
kesehatan dan keamanan sebagaimana yang dibutuhkan rakyat. Jika negara
tidak mempunyai dana, maka negara bisa mengambil dharibah dari kaum
Muslim yang kaya, atau berutang–yang dibolehkan oleh syariah. Pungutan
dharibah ini bersifat sementara yaitu ketika kas di Baitul Mal kurang
atau tidak ada, dan dalam jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan itu, tidak lebih.
Negara juga
menciptakan kondisi agar warganya berkesempatan memenuhi kebutuhan
sekunder mereka sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Meskipun
demikian, dengan dakwah dan pendidikan yang sistemik negara mengarahkan
warganya memiliki corak dan gaya hidup yang islami (sederhana, tidak
boros, tidak menggunakan hartanya untuk bermaksiat, mendorong rakyat
untuk mendayagunakan hartanya di jalan Allah dll).
Walhasil,
ketika taraf hidup orang-perorang warga negara Khilafah meningkat,
ditambah dengan corak dan gaya hidup yang islami, maka tentu pertumbuhan
ekonominya akan stabil dan rakyat menjadi sejahtera, insya
Allah.
Tata Kelola Keuangan dan APBN Daulah Khilafah
Penerapan PEI
tentu membutuhkan dana yang besar. Itulah peran penting
Baitul Mal. Baitul Mal adalah bagian dari struktur sistem pemerintahan
Khilafah Islamiyah yang bertugas mengatur penerimaan dan pengeluaran
negara yang sesuai dengan syariah Islam untuk mensejahterakan rakyatnya
secara orang-perorang dan menyeluruh.
Sebagai
lembaga negara yang mandiri, terpisah dari lembaga negara lainnya, dan
langsung berada di bawah khalifah, Baitul Mal dipimpin oleh seorang Wali
al-Kharaj yang menjadi pelaksana harian Baitul Mal. Ia membawahi
Divisi Penerimaan, Divisi Pengeluaran dan Wali Baitul Mal Wilayah yang
berkedudukan di wilayah (provinsi).
Tata kelola
anggaran negara meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: (1) kaidah pengalokasian
belanja negara; (2) pos pembiayaan belanja wajib; (3) kaidah mendapatkan
pembiayaan belanja wajib.
1. Kaidah pengalokasian belanja negara.
Ditinjau
dari jensi harta, pos-pos penerimaan negara Khilafah terbagi ke dalam
tiga bagian. Bagian pertama terdiri bagian fai’i dan kharaj
yang menghimpun pemasukan dari ghanimah, fai’, anfal, khumus anfal,
kharaj, jizyah, harta milik negara, ‘usyur, harta ilegal penguasa,
pejabat dan pegawai sera harta yang diperoleh dengan tindakan curang
lainnya, khumus barang temuan dan tambang yang jumlahnya terbatas, harta
waris yang tidak ada ahli warisnya, harta orang murtad, dan harta dari
pungutan dharibah. Bagian kedua adalah bagian
pemilikan umum yang menghimpun pemasukan dari hasil-hasil pengelolaan
harta milik umum. Bagian ketiga, bagian zakat yang
menghimpun harta zakat.
Perbedaan
jenis harta ketiga bagian penerimaan negara itu, memberikan batasan
kepada Khalifah dalam melakukan kebijakan keuangan negara.
Batasan pertama,
Khalifah tidak boleh mencampuradukkan ketiga bagian penerimaan tersebut
baik dari sisi pencampuran harta maupun dari sisi administrasi
pembukuan.
Batasan kedua,
Khalifah tidak diperkenankan mengalokasikan anggaran ke pos-pos yang
memang tidak memiliki hak terhadap bagian penerimaan tertentu.
Batasan ketiga,
pelebaran alokasi pembiayaan dari suatu bagian penerimaan negara ke
pos-pos pengeluaran yang dibiayai oleh bagian penerimaan negara lainnya
dibolehkan jika ada kondisi-kondisi tertentu yang memenuhi ketentuan
syariah, misalnya kas Baitul Mal kosong, atau tidak mencukupi untuk
membiayai belanja wajib yang sifatnya mendesak. Kecuali bagian zakat
yang memang sudah dibatasi alokasi pembelanjaannya oleh syariah yang
tidak boleh dilanggar.
Berdasarkan
ketiga batasan tersebut di atas, maka alokasi penerimaan Baitul Mal
adalah sebagai berikut:
1. Fai’ dan kharaj
dialokasikan untuk pos-pos pengeluaran berikut: seksi Dar
al-Khilafah, seksi Mashalih ad-Dawlah, seksi santunan,
seksi jihad, seksi urusan darurat serta seksi anggaran belanja negara,
pengendalian umum dan badan pengawas keuangan.
2. Kepemilikan
umum dialokasikan pada pos-pos pengeluaran seksi kepemilikan umum.
Kemudian seiring dengan meluasnya tanggung jawab negara dan bertambahnya
perkara-perkara yang harus disubsidi, maka alokasinya diperluas pada
pos-pos berikut: seksi Dar al-Khilafah, seksi Mashalih
ad-Dawlah/pelayanan publik, seksi santunan, seksi jihad, seksi
urusan darurat/bencana alam, dan seksi anggaran belanja negara,
pengendalian umum dan badan pengawas.
3. Zakat.
Alokasi pengeluaran negara dari sektor ini didasarkan pada QS at-Taubah
ayat 60. Fungsi negara dalam sektor ini adalah menarik zakat dari
orang-orang yang telah wajib zakat. Kemudian oleh negara, harta zakat
yang terkumpul di Baitul Mal disalurkan kepada 8 (delapan) golongan yang
berhak menerimanya yaitu orang fakir, orang miskin, para ‘amilin
zakat, muallaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi
sabilillah, dan ibnu sabil.
2. Kemutlakan pembiayaan belanja wajib.
Anggaran
belanja wajib merupakan anggaran pada pos-pos pengeluaran negara yang
menurut syariah wajib ada (mutlak), artinya negara (pemerintah) wajib
memenuhi belanja tersebut. Menurut Syaikh An-Nabhani, pos-pos belanja
negara yang masuk kategori wajib, pembiayaanya tidak bergantung pada
ada-tidaknya kas di pos penerimaan negara yang menutupinya. Jika
sumber-sumber penerimaan rutin tidak mampu membiayainya, sementara
diperkirakan pos-pos belanja wajib tersebut bila tidak dibiayai dapat
menimbulkan bencana bagi masyarakat, maka negara harus mencari jalan
agar secepatnya pos belanja tersebut tertutupi.
Secara
garis besar Abdul Qadim Zallum membagi pos belanja wajib dalam 6
kategori, yaitu pembiayaan: (1) Jihad dan semua perangkat yang
diperlukan untuk jihad. Pembiayaan ini disebut juga belanja pertahanan
keamanan. (2) Industri militer dan industri strategis serta
pabrik-pabrik penunjangnya. (3) Santunan fakir-miskin dan ibnu sabil.
(4) Santunan para pejabat negara, pembayaran gaji tentara, para
pegawai, para hakim, para guru dan dosen dan lain-lainnya yang pekerjaan
melayani masyarakat. (5) Untuk kepentingan dan kemaslahatan hidup umat
yang sifatnya sangat dibutuhkan seperti rumah sakit, sekolah,
universitas, jalan raya, air bersih, listrik, masjid, bandara dan
lain-lain. (6) Untuk keadaan darurat (bencana).
3. Kaidah pembiayaan belanja wajib.
Kebijakan
fiskal Islam bersandar pada prinsip mendahulukan anggaran wajib dan
mewajibkan negara mengadakan sumber-sumber pembiayaan anggaran belanja
wajib. Namun, jika semua sumber keuangan yang dimiliki negara telah
dialokasikan ke belanja wajib tetapi belum mencukupi, maka
kewajiban tersebut beralih menjadi kewajiban seluruh rakyatnya. Ada
5 (lima) langkah pokok yang dapat ditempuh negara dalam mencari solusi
pembiayaan belanja wajib yang tidak dapat dipenuhi oleh sumber-sumber
penerimaan dari harta milik negara, yaitu:
1. Memperluas
pemasukan dari sumber-sumber kepemilikan umum, misalkan: jalur lintas
pipa dan serat optik laut, penyewaan jaringan satelit yang tidak
membahayakan keamanan negara dan letak Indonesia yang strategis
memungkinkan Selat Malaka dan beberapa tempat lainnya sebagai pelabuhan
dan bandara transit dengan menghasilkan pendapatan yang tidak sedikit.
2. Mengutamakan
pengalokasian harta zakat untuk fakir-miskin, ibnu sabil
dan jihad fi sabilillah di pos belanja wajib.
3. Seandainya
langkah pertama dan kedua belum dapat menutupi belanja wajib, pemerintah
dapat memobilisasi rakyatnya agar menginfakkan sebagian hartanya untuk
mengatasi kekurangan anggaran.
4. Negara
meminjam dana kepada masyarakat (yang bebas riba, tidak menyebabkan
kehinaan dan ketundukan kepada orang kafir) baik dari individu maupun
perusahaan swasta, tentunya akan dikembalikan ketika negara dalam
kondisi surplus.
5. Jika belum
juga mencukupi, maka negara dapat memungut dharibah dari kaum muslim
laki-laki yang kaya dari kelebihan harta mereka.
Khatimah
Secara
sistemik, pengelolaan anggaran negara berdasarkan Politik Ekonomi Islam
yang didasarkan pada ketentuan syariah, insya Allah mampu
memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (primer) orang-perorang
secara menyeluruh dan pemenuhan kebutuhan sekunder serta tersier
sesuai dengan kemampuan dengan corak dan gaya hidup masyarakat yang
islami.
Walhasil,
pertumbuhan ekonomi yang stabil dan kesejahteraan rakyat dengan pondasi
ekonomi dan karakter masyarakat yang islami akan terwujud, tentu atas
izin Allah SWT. WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Muhammad
Sholahuddin, S.E., M.Si.