Al-Bay’ (jual-beli) secara
bahasa artinya pertukaran, sedangkan secara syar‘i bermakna: mubâdalah mâl[in] bi mâl[in], tamlîk[anl wa tamalluk[an]
‘alâ sabîl at-tarâdhî (pertukaran harta dengan harta lain dalam bentuk penyerahan dan penerimaan
pemilikan [pertukaran dan pemindahan pemilikan] berdasarkan kerelaan kedua
pihak.
Jual-beli ada tiga
bentuk. Pertama: jual-beli tunai;
barang dan harga diserahterimakan pada saat akad. Kedua: jual-beli salaf atau salam (pesanan); harga dibayar
pada saat akad, sedangkan barang diserahkan setelah tempo tertentu. Ketiga: jual-beli kredit, barang diserahkan pada saat akad,
sedangkan harganya dibayar setelah tempo tertentu, baik sekaligus atau dicicil.
Bentuk ketiga inilah yang disebut jual-beli kredit (al-bay’ bi ad-dayn wa bi at-taqsîth).
Syariah
memperbolehkan jual-beli secara kredit. Dasarnya adalah QS al-Baqarah ayat 282.
Aisyah ra. Juga meriwayatkan: Nabi saw. pernah membeli makanan kepada seorang Yahudi
sampai tempo tertentu dan Beliau menggadaikan baju besinya. (HR al-Bukhari). Aisyah ra. Juga menuturkan bahwa
Barirah ra. pernah membeli (membebaskan) dirinya sendiri dari tuannya seharga
sembilan awqiyah yang dibayar satu
awqiyah setiap tahun (HR
al-Bukhari dan Muslim). Kejadian tersebut diketahui oleh Rasul dan beliau
mendiamkannya. Hal itu menunjukkan kebolehan jual-beli secara kredit dengan
cara dicicil.
Beberapa Ketentuan
Jual-beli kredit
memiliki tiga rukun: (1) Al-‘Aqidân, yaitu dua orang
yang berakad. Dalam hal ini keduanya harus orang yang layak melakukan tasharruf, yakni berakal dan minimal mumayyiz. (2). Shighât (ijab-qabul). (3) Mahal al-’aqd (obyek akad), yaitu al-mabi’ (barang dagangan) dan ats-tsaman (harga).
Di samping
ketiganya juga terdapat syarat-syarat terkait dengan al-mabî’ (barang dagangan) dan harga. Al-Mabî’ itu harus sesuatu yang suci, tidak najis; halal
dimanfaatkan; adanya kemampuan penjual untuk menyerahkannya; harus ma‘lûm (jelas), tidak majhul. Jika barang dagangannya berupa tamar (kurma), sa’îr (barley), burr (gandum), dzahab (emas), fidhah (perak), atau uang, dan milh (garam) maka tidak boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) secara kredit.
Rasul saw. bersabda:
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ
سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ
فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَد
Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus)
semisal, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka perjualbelikanlah sesuka
kalian selama dilakukan secara tunai. (HR Muslim).
Artinya, tidak
boleh menjual emas, perak, garam, kurma, gandum atau barley, secara kredit.
Di samping itu al-mabî’ (barang dagangan) tersebut haruslah milik penjual atau
si penjual memang memiliki hak untuk menjualnya, misal sebagai wakil dari
pemiliknya. Rasul saw. bersabda:
لاَ
تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad
dan al-Baihaqi).
Jual-beli kredit
ini tidak seperti as-salaf atau as-salam yang dikecualikan dari larangan tersebut. Jadi, barang
yang dijual secara kredit itu haruslah sempurna milik si penjual. Jika barang
itu sebelumnya dia beli dari pihak lain maka pembelian itu harus sudah
sempurna, yaitu harus sudah terjadi perpindahan pemilikan atas barang itu
secara sempurna dari pihak lain itu kepadanya. Artinya, barang itu telah sempurna
dia miliki, baru ia sah untuk menjualnya secara kredit. Ketentuan ini menjadi
salah satu titik kritis dalam muamalah al-murâbahah li al-âmir bi
asy-syirâ’—sering disebut
murabahah saja—dan al-bay’ bi ats-tsaman âjil, atau yang sejenis.1
Supaya akad jual-beli
kredit itu sempurna, harus terjadi perpindahan pemilikan atas al-mabî’ itu dari penjual kepada pembeli. Jika al-mabî’ itu termasuk barang yang standarnya dengan dihitung,
ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd, al-makîl wa al-mawzûn) maka harus terjadi serah terima (al-qabdh). Jika bukan yang demikian maka tidak harus terjadi al-qabdh, melainkan begitu selesai ijab dan qabul, terjadilah
perpindahan pemilikan atas al-mabî’. Intinya, pemilikan pembeli atas barang yang dia beli akan sempurna jika
tidak ada lagi penghalang baginya untuk men-tasharruf barang tersebut, baik dijual, disewakan, dikonsumsi,
dihibahkan dan sebagainya.
Adapun harga dalam
jual-beli secara kredit dibayar setelah tempo tertentu, artinya merupakan utang
(dayn), baik dibayar
sekaligus ataupun dicicil. Kebolehan itu sesuai dengan hadis Barirah dan hadis
tentang jual-beli secara kredit yang dilakukan Nabi saw. dengan seorang Yahudi
di atas.
Seseorang boleh
menawarkan barangnya dengan dua harga, harga tunai dan harga kredit—biasanya
lebih tinggi dari harga kontan. Hal itu karena Rasul saw. pernah bersabda:
إِنَّمَا
الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Sesungguhnya jual-beli itu hanyalah dengan saling ridha
(antara penjual dan pembeli) (HR Ahmad dan Ibn Majah).
Jadi, seorang penjual
berhak menjual barang dengan harga yang ia ridhai dan menolak jual-beli dengan
harga yang tidak ia ridhai. Ia berhak menetapkan atas barangnya dua harga,
harga tunai dan harga kredit yang lebih tinggi dari harga tunai. Begitu pula
pembeli berhak melakukan tawar-menawar pada harga yang ia ridhai, baik tunai
ataupun kredit. Namun, adanya dua harga itu hanya boleh terjadi dalam
tawar-menawar. Sebaliknya, dalam akad/transaksi yang disepakati dalam
jual-beli, harus satu harga. Misal, boleh saja si A mengatakan, “Barang ini harganya tunai Rp 100 ribu,
kalau kredit sebulan 110 ribu.” Jika si B berkata, “Saya beli kredit satu bulan
110 ribu,” maka jual-beli itu sah. Sebab, meski penawarannya ada dua harga,
tetapi akadnya hanya satu harga. Artinya, jual-beli itu terjadi dalam satu
harga saja. Ini berbeda jika si B mengatakan, “Baik, saya setuju,” atau, “Baik,
saya beli.” Dalam kasus ini, jual-belinya tidak sah, karena yang disepakati
dalam akad berarti ada dua harga, dan Rasul melarangnya. Ibn Mas‘ud mengatakan:
نَهَى
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
Rasulullah saw. telah melarang dua transaksi dalam satu
akad (HR Ahmad,
al-Bazar dan ath-Thabrani).
Jika telah
disepakati jual-beli secara kredit dengan harga tertentu, misal kredit sebulan
harga Rp 110 ribu, lalu saat jatuh tempo pembeli belum bisa membayarnya,
kemudian disepakati ditangguhkan dengan tambahan harga, misal sebulan lagi
tetapi dengan harga Rp 120 ribu; atau misal sudah disepakati jual-beli tunai
dengan harga Rp 100 ribu, lalu pembeli meminta ditangguhkan sebulan dan penjual
setuju dengan harga menjadi Rp 110 ribu, maka kedua contoh ini dan semisalnya
tidak boleh. Sebab, itu artinya telah terjadi dua jual-beli dalam satu barang
atau satu jual-beli (bay’atayn fî al-bay’ah). Abu Hurairah berkata:
نَهَى
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
Rasulullah saw. telah melarang dua jual beli dalam satu
jual-beli (HR Ahmad,
an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ibn Hibban).
Jika terjadi kasus
tersebut, lalu bagaimana? Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ
بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوْ الرِّبَا
Siapa saja yang menjual dengan dua jual-beli maka baginya
harga yang lebih rendah atau riba (HR Abu Dawud).
Jadi, jika terjadi
kasus tersebut, jual-beli itu tetap sah, namun dengan harga yang lebih rendah,
yaitu harga awal. Jika dengan harga lebih tinggi maka selisihnya dengan harga
awal adalah riba.
Ada jenis
jual-beli kredit lain yang dilarang dan hukumnya haram. Misal: A menjual motor
kepada B secara kredit satu tahun dengan harga Rp 11 juta, lalu B menjual lagi
motor itu kepada A secara tunai seharga Rp 10 juta. Sehingga A menyerahkan Rp
10 juta kepada B dan setahun lagi akan mendapat Rp 11 juta dari B. Jual-beli seperti ini yang menurut para fukaha dinamakan al-bay’ al-‘înah. Dalam hal ini Rasul saw. bersabda:
إذَا
ضَنَّ النَّاسُ بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ، وَتَبَايَعُوا بِالْعِينَةِ،
وَاتَّبَعُوا أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَتَرَكُوا الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللهِ،
أَنْزَلَ اللهُ بِهِمْ ذُلاًّ، فَلَمْ يَرْفَعْهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُرَاجِعُوْ
دِينَهُمْ
Jika manusia bakhil dengan dinar dan dirham, berjual-beli
secara al-‘înah, mengikuti ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah,
niscaya Allah menurunkan atas mereka kehinaan, Allah tidak akan mengangkat
kehinaan itu dari mereka hingga mereka kembali pada agama mereka (HR Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).
Wallâh a‘lam wa
ahkam. [Yahya Abdurrahman]
Catatan kaki:
1
Masalah murabahah li al-âmir
bi asy-syirâ’ (murabahah)
dan al-bay’ bi ats-tsaman
âjil
dan muamalah semisalnya, perlu pembahasan tersendiri secara lebih rinci.
Beberapa Ketentuan
Catatan kaki:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar