Aulia Advertising Biro Iklan Telp 021 93476893, 0813 8468 1151

Jumat, 07 Juni 2013

Jawab Soal Tentang Hukum Akad Murabahah

Pertanyaannya:
Apa tabiat akad tersebut (murabahah) dari sisi kehalalan dan keharamannya, dan apakah harta yang diambilnya itu halal ataukah haram, dan apakah ia berhak meminta sisa laba setelah ia mengambil modal (hartanya) dan tambahan, padahal saudara-saudara tersebut mengetahui bahwa hukum asal perbuatan adalah terikat kepada hukum syara’?
Jawab:
Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Apa yang Anda sebut akad murabahah sesuai pertanyaan Anda bahwa pemilik harta menyerahkan hartanya itu kepada pihak lain yang memperdagangkannya atau bekerja dengannya … dan orang lain itu memberinya laba yang sudah dijamin, maka ini tidak boleh di dalam Islam. Yang boleh adalah pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pihak lain yang menggunakannya berdagang (berbisnis) dan keduanya bersepakat atas nisbah (persentase) tertentu dari laba yang diperoleh jika di situ ada laba, dan jika tidak ada laba maka tidak ada apa-apa untuk keduanya. Dan jika di situ ada kerugian maka kerugian harta itu ditanggung pemilik harta (pemodal) sebab pihak lain yang mengerahkan tenaga dan berbisnis ia merugi tenaganya. Yakni tidak ditentukan laba yang sudah dijamin untuk pemilik harta (pemodal), akan tetapi seharusnya seperti yang baru saja kami katakan.
Ini adalah apa yang disebut di dalam Islam sebagai Mudharabah.
Mudharabah merupakan salah satu jenis syirkah sebab merupakan syirkah badan dan harta. Syirkah termasuk muamalah yang dinyatakan kebolehannya oleh syara’. Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
«إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ، مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا»
Sesungguhnya Allah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah satu tidak mengkhianati temannya, dan jika ia mengkhianatinya maka aku keluar dari keduanya (HR Abu Dawud)

Para sahabat ridhwanullah ‘alayhim ber-ijma’ atas bolehnya mudharabah. Umar telah menyerahkan harta anak yatim secara mudharabah seperti yang disebutkan di Mushannaf Ibn Abiy Syaibah. Adapun laba dalam mudharabah, maka itu sesuai apa yang disepakati kedua pihak yang berakad. Sedangkan kerugian maka itu ditanggung harta. Abdurrazaq ash-Shan’ani telah mengeluarkan di Mushannaf-nya dari Ali tentang mudharabah:
«الْوَضِيعَةُ عَلَى الْمَالِ، وَالرِّبْحُ عَلَى مَا اصْطَلَحُوا عَلَيْهِ»
Al-wadhî’ah (kerugian) itu ditanggung oleh harta, dan laba berdasarkan apa yang mereka sepakati.

Al-wadhî’ah berarti kerugian.
Perlu diketahui istilah murabahah di dalam syara’ dinyatakan dalam masalah jual beli, bukan termasuk akad-akad kerja. Mereka yang menggunakannya dalam akad-akad kerja antara pemilik harta (pemodal) dan mudharib, maka mereka menggunakannya tidak pada tempatnya yang syar’iy. Hal itu, karena murabahah itu secara bahasa berarti meraih laba. Dikatakan: bi’tu al-mutâ’ murâbahatan, yaitu saya menjualnya secara murabahah.
Sedangkan menurut istilah, murabahah adalah seorang penjual menawarkan barang dagangannya untuk dijual dengan kadar modalnya dan laba yang diketahui (disepakati). Dan murabahah itu termasuk jual beli amanah (bay’ al-amânah), sebab bersandar pada amanah penjual dalam memberitahukan modal barang dagangannya.
Murabahah itu secara syar’iy adalah boleh sebab murabahah itu adalah menjual dengan laba atas harga pembelian awal si penjual. Jika penjual berkata, saya jual kepada Anda barang ini dengan untung sekian atas harga pembelian saya, dan ia memberi tahu pembeli harga pembelian awalnya itu, dan pembeli menerima, maka ini boleh sebab itu adalah jual beli yang diketahui dengan jelas (ma’lûm).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar